Advertisemen
Ya, Dolly. Kawasan yang dikenal sebagai lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu dipastikan tutup sebelum Ramadan mendatang. Sejumlah dukungan pun berbedar di media social, yang mendukung walikota Surabaya, Tri Rismaharini untuk merealisasikan penutupan Dolly ini. Tetapi sebelumnya, bagaimana sebenarnya sejarah Dolly ini? Simak ulasannya berikut.
Sebelum dirubah wajahnya menjadi pemukiman, Dolly adalah kompleks pemakaman Tionghoa di Putat Jaya, Surabaya. Pemerintah kemudian menutup pemakaman ini pada tahun 1966 dan meminta para ahli waris untuk memindahkan jasad kerabat mereka. Setelah penutupan, mulai munculah orang-orang yang berebut tanah bekas makam ini. Sejumlah bangunan makam dan gundungan pun diratakan. Ada beberapa ahli waris yang memindahkan jasad kerabatnya dari daerah ini, tetapi tidak sedikit yang membiarkannya. Kemudian di atasnya mulai-lah dibangun rumah-rumah tinggal
“Pada 1967, muncul seorang bernama Dolly Khavit, seorang wanita yang konon dulunya juga pelacur, yang kemudian menikah dengan seorang pelaut Belanda,” tulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly. Buku ini semula merupakan skripsi Tjahjo di Jurusan Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya.
Dolly inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pendirian rumah bordil. Uniknya, ia enggan dipanggil “mami”, tapi lebih suka dipanggil “papi”– sebagaimana layaknya germo pria. Nama perintis inilah yang kemudian terkenal dan menjadi nama daerah daerah yang di kemudian hari semakin berkembang ini. Nama Dolly sendiri bukanlah nama resmi, tetapi hanya tumbuh dari mulut ke mulut.
Selayaknya bekas makam, banyak cerita klenik berkembang di daerah ini. Tidak mengherankan jika sejumlah penghuni mengatakan jika daerah ini angker, “Sering muncul roh-roh halus di tengah malam. Pelacuran bertetangga dengan roh, tentulah para roh penasaran,” tulis Tjahjo dan Ashadi.
Rencana penutupan Dolly oleh walikota Risma pun menuai banyak komentar. Sejumlah pihak mengatakan jika kebijakan ini tidak manusiawi, lantaran jika Dolly ditutup artinya menutup mata pencaharian sejumlah orang yang bergantung pada aktivitas malam Dolly. Tetapi di lain pihak, ada juga yang mendukung aksi Risma ini. Misalnya, beberapa elemen yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jawa Timur. Saat menemui Risma beberapa waktu lalu, GUIB bahkan mengaku akan berada di garda terdepan untuk melawan pihak yang berusaha menghalangi penutupan Dolly.
Bagaimana kabar Dolly hari ini?
UPDATE!!!
Rabu ini, 18 Juni 2014, bakal menjadi hari yang bersejarah bagi warga Surabaya dan dunia prostitusi. Kawasan lokalisasi yang konon terbesar di Asia Tenggara, yakni lokalisasi Dolly, ditutup oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Mulai hari ini, Kota Pahlawan ini ingin mengubah sebutan kota seribu Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan kota budaya. Wali Kota Tri Rismaharini menginginkan, saat orang berbicara soal Surabaya, bukan lokalisasinya yang disebut-sebut, tetapi budayanya. Surabaya yang memelihara budaya positif warganya.
Penutupan Dolly, adalah cerita akhir upaya Risma membersihkan Surabaya dari lokalisasi. Sebelumnya, tiga titik lokalisasi sudah ditutup sejak akhir 2013, oleh wali kota yang dijuluki Singa Betina ini, yaitu lokalisasi Dupak Bangunsari, Moroseneng, dan Sememi.
"Penutupan Dolly dan Jarak memang diakhirkan karena karakter masalah sosialnya lebih kompleks dari tiga lokalisasi yang ditutup sebelumnya," kata Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Supomo, Selasa (18/6) malam.
Di Dolly dan Jarak ada puluhan wisma, ratusan mucikari, dan ribuan PSK. Mereka sudah hidup rukun berdampingan dengan warga setempat di lima RW, di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan selama puluhan tahun. Warga setempat pun memperoleh efek ekonomi dari adanya aktivitas prostitusi itu.
Wajar jika kemudian, warga pekerja lokalisasi menolak keras kebijakan penutupan yang berdasarkan Perda No. 9/1999 tentang larangan penggunaan bangunan untuk kegiatan prostitusi itu. Hampir sebagian besar pekerja Dolly dari pemilik wisma, mucikari, PSK, dan pedagang kecil, menolak keras penutupan. Mereka bahkan bersedia perang dengan pemerintah jika tetap akan ada penutupan.
Pekerja Dolly yang membentuk elemen Fron Pekerja Lokalisasi (FPL) juga menyatakan menolak segala bentuk kompensasi penutupan berupa modal usaha dan pelatihan keterampilan ekonomi yang diberikan pemerintah. Padahal, pemerintah melalui Kemensos sudah menganggarkan sekitar Rp8 miliar untuk penanganan PSK, Rp1,5 miliar dari Pemprov Jatim untuk mucikari, dan Rp16 miliar dari Pemkot Surabaya untuk menebus wisma lokalisasi.
Pemkot Surabaya tetap ngotot melakukan penutupan. Masa depan generasi bangsa, adalah alasan yang selalu disebut-sebut walikota perempuan pertama Surabaya itu dalam mengutarakan alasan utama penutupan.
Seremoni deklarasi penutupan Dolly sudah disiapkan dengan rapi pada Rabu (18/6/2014) malam, dengan mengundang Menteri Sosial, Salim Segaf sebagai deklarator.
Sumber : kompas.com
Advertisemen